Minggu, 06 November 2016

TINJAUAN PUSTAKA

Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea)
            Menurut Ali dan Maslim (2013), taksonomi penyu digolongkan dalam:
Kingdom
:
Animalia
Phylum
:
Chordata
Class
:
Reptilia
Ordo
:
Testudines
Family
:
Dermochelyidae
Species
:
Dermochelys coriacea

Gambar 1. Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea)
            Umumnya, fisik Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) yaitu memiliki kulit cangkang berwarna gelap dengan bintik - bintik putih yang tidak sekeras penyu lain, sirip depannya panjang, ukurannya dapat mencapai hingga 180 cm dan berat 500 kg, merupakan penyu laut terbesar dan salah satu reptil terbesar yang masih hidup. Penyu belimbing berukuran besar sangat luar biasa, karena hanya makan makanan rendah energi dan rendah protein dari mahluk - mahluk lunak seperti ubur - ubur, cumi cumi dan tunicates (invertebrata seperti ubur - ubur laut) (WWF, 2011).
            Penyu belimbing (Dermochelys coriacea) merupakan salah satu spesies penyu, yang memiliki tubuh dan telur yang lebih besar dari penyu lain. Hewan ini hidup di perairan asin laut dan bertelur di daratan pada kawasan supra littoral. Kawasan pantai yang disenangi untuk bertelur adalah kawasan berpasir. Proses fertelisasi penyu belimbing (Dermochelys coriacea), terjadi dalam kawasan laut. Hasil fertelisasi yang menghasilkan telur di dalam tubuh induk betina, akan dilakukan peneluran di zona supra litoral kawasan laut. Telur yang dihasilkan akan dilakukan penyimpanan dalam pasir di kawasan laut, sehingga akan terjadi proses pengeraman dalam kawasan pasir (Ali dan Maslim, 2013).
Ancaman Populasi Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea)
            Penyu telah mengalami penurunan jumlah populasi dalam jangka waktu terakhir ini bahkan beberapa spesies terancam kepunahan. Di alam, penyu-penyu yang baru menetas menghadapi ancaman kematian dari hewan-hewan seperti kepiting, burung, dan reptilia lainnya seperti biawak. Ancaman yang paling besar bagi penyu di Indonesia, seperti juga halnya di seluruh dunia, adalah manusia. Pembangunan daerah pesisir yang berlebihan telah mengurangi habitat penyu untuk bersarang. Penangkapan penyu untuk diambil telur, daging, kulit, dan cangkangnya telah membuat populasi penyu berkurang. Konvensi ini melarang semua perdagangan internasional atas semua produk yang berasal dari penyu, baik itu berupa telur, daging, maupun cangkangnya (Ario dkk., 2016).
            Dari perkiraan menunjukkan, selama dua puluh tahun terakhir jumlah spesies ini menurun dengan cepat, khususnya di kawasan pasifik: hanya sekitar 2.300 betina dewasa yang tersisa. Hal ini menempatkan penyu belimbing pasifik menjadi penyu laut yang paling terancam populasinya di dunia. Di kawasan Pasifik, seperti di Indonesia saja, populasinya hanya tersisa sedikit saja dari sebelumnya (2.983 sarang pada 1999 dari 13000 sarang pada tahun 1984). Untuk mengatasi hal tersebut, tiga Negara yaitu Indonesia, PNG dan Kepulauan Solomon telah sepakat untuk melindungi habitat Penyu Belimbing melalui MOU Tri National Partnership Agreement (WWF, 2011).
            Masyarakat pesisir merupakan salah satu faktor penentu suatu kegiatan pengelolaan lingkungan karena masyarakat tersebut memiliki interaksi terbanyak dengan lingkungan pesisir sehingga secara tidak langsung meningkat atau turunnya suatu pengelolaan kawasan konservasi tergantung tingkat kepedulian masyarakat pesisir untuk menjaga sumber daya di sekitar (Harahap, dkk., 2015).
            Faktor yang dimungkinkan mempengaruhi tingginya umur penyu belimbing adalah tingkat pencemaran dan suhu air laut. Laut di wilayah Papua (Pasifik) dapat dikatakan belum tercemar oleh bahan - bahan atau limbah berbahaya, karena belum adanya industri besar yang secara berkesinambungan membuang limbah ke laut. Suhu air laut juga mendukung kesehatan dan kesediaan sumber pakan secara berkesinambungan yang mana akan meningkatkan umur dari penyu itu (Triantoro, 2008).
Upaya Konservasi Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea).
            Menurut Ario, dkk., (2016) upaya dalam konservasi Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) adalah:
1.      Didirikannya Turtle Conservation and Education Center (TCEC) berfungsi sebagai tempat konservasi penyu, tempat penetasan semi alami dari telur - telur penyu yang diambil dari sarang alaminya dipinggir pantai agar telur tersebut dapat menetas dengan selamat tanpa harus terganggu oleh predator ataupun manusia. Selain itu TCEC juga sebagai tempat pembesaran tukik - tukik yang nantinya dilepas ke laut jika umurnya sudah kurang lebih 3 bulan.
2.      Penyuluhan kepada masyarakat agar tidak mengambil penyu langsung dari laut, tidak menjual cangkang penyu, tidak memburu penyu di alamnya lagi sebagai bahan untuk upacara adat, dan tidak mengkonsumsi daging dan telur penyu demi terjaganya kelestarian habitat penyu. Penyu yang disediakan untuk upacara adat berumur satu tahun lebih dan jumlahnya juga dibatasi.

3.      Kualitas air yang digunakan untuk media hidup tukik yang dipelihara juga memerlukan perhatian khusus. Parameter yang harus diperhatikan dalam menjaga kualitas air media antara lain pH, salinitas, suhu dan oksigen terlarut (DO). Air laut mempunyai kisaran pH yang relatif stabil karena memiliki kemampuan sebagai penyangga yang tinggi. Salinitas mempengaruhi aktifitas biologis yaitu pada proses osmoregulasi. Penyu merupakan hewan poikilotermal, suhu tubuh mengikuti suhu lingkungan sampai pada batas tertentu. 
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

TOPIK ARTIKEL

CANCERBOY. Diberdayakan oleh Blogger.