Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea)
Menurut Ali dan Maslim (2013),
taksonomi penyu digolongkan dalam:
:
|
Animalia
|
|
Phylum
|
:
|
Chordata
|
Class
|
:
|
Reptilia
|
Ordo
|
:
|
Testudines
|
Family
|
:
|
Dermochelyidae
|
Species
|
:
|
Dermochelys
coriacea
|
Gambar 1. Penyu
Belimbing (Dermochelys
coriacea)
Umumnya, fisik Penyu Belimbing (Dermochelys
coriacea) yaitu memiliki kulit cangkang berwarna gelap dengan bintik - bintik putih
yang tidak sekeras penyu lain, sirip depannya panjang, ukurannya dapat mencapai
hingga 180 cm dan berat 500 kg, merupakan penyu laut terbesar dan salah satu
reptil terbesar yang masih hidup. Penyu
belimbing berukuran besar sangat luar biasa, karena hanya makan makanan rendah
energi dan rendah protein dari mahluk - mahluk lunak seperti ubur - ubur, cumi
cumi dan tunicates (invertebrata seperti ubur - ubur laut) (WWF, 2011).
Penyu
belimbing (Dermochelys coriacea) merupakan salah satu spesies penyu,
yang memiliki tubuh dan telur yang lebih besar dari penyu lain. Hewan ini hidup
di perairan asin laut dan bertelur di daratan pada kawasan supra littoral.
Kawasan pantai yang disenangi untuk bertelur adalah kawasan berpasir. Proses
fertelisasi penyu belimbing (Dermochelys coriacea), terjadi dalam
kawasan laut. Hasil fertelisasi yang menghasilkan telur di dalam tubuh induk
betina, akan dilakukan peneluran di zona supra litoral kawasan laut. Telur yang
dihasilkan akan dilakukan penyimpanan dalam pasir di kawasan laut, sehingga
akan terjadi proses pengeraman dalam kawasan
pasir (Ali dan Maslim, 2013).
Ancaman Populasi Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea)
Penyu telah mengalami penurunan jumlah
populasi dalam jangka waktu terakhir ini bahkan beberapa spesies terancam
kepunahan. Di alam, penyu-penyu yang baru menetas menghadapi ancaman kematian
dari hewan-hewan seperti kepiting, burung, dan reptilia lainnya seperti biawak.
Ancaman yang paling besar bagi penyu di Indonesia, seperti juga halnya di
seluruh dunia, adalah manusia. Pembangunan daerah pesisir yang berlebihan telah
mengurangi habitat penyu untuk bersarang. Penangkapan penyu untuk diambil
telur, daging, kulit, dan cangkangnya telah membuat populasi penyu berkurang.
Konvensi ini melarang semua perdagangan internasional atas semua produk yang
berasal dari penyu, baik itu berupa telur, daging, maupun cangkangnya (Ario
dkk., 2016).
Dari
perkiraan menunjukkan, selama dua puluh tahun terakhir jumlah spesies ini
menurun dengan cepat, khususnya di kawasan pasifik: hanya sekitar 2.300 betina
dewasa yang tersisa. Hal ini menempatkan penyu belimbing pasifik menjadi penyu
laut yang paling terancam populasinya di dunia. Di kawasan Pasifik, seperti di
Indonesia saja, populasinya hanya tersisa sedikit saja dari sebelumnya (2.983
sarang pada 1999 dari 13000 sarang pada tahun 1984). Untuk mengatasi hal
tersebut, tiga Negara yaitu Indonesia, PNG dan Kepulauan Solomon telah sepakat
untuk melindungi habitat Penyu Belimbing melalui MOU
Tri National Partnership Agreement (WWF, 2011).
Masyarakat
pesisir merupakan salah satu faktor penentu suatu kegiatan pengelolaan
lingkungan karena masyarakat tersebut memiliki interaksi terbanyak dengan
lingkungan pesisir sehingga secara tidak langsung meningkat atau turunnya suatu
pengelolaan kawasan konservasi tergantung tingkat kepedulian masyarakat pesisir
untuk menjaga sumber daya di sekitar (Harahap, dkk., 2015).
Faktor
yang dimungkinkan mempengaruhi tingginya umur penyu belimbing adalah tingkat
pencemaran dan suhu air laut. Laut di wilayah Papua (Pasifik) dapat dikatakan
belum tercemar oleh bahan - bahan atau limbah berbahaya, karena belum adanya industri
besar yang secara berkesinambungan membuang limbah ke laut. Suhu air laut juga
mendukung kesehatan dan kesediaan sumber pakan secara berkesinambungan yang
mana akan meningkatkan umur dari penyu itu (Triantoro, 2008).
Upaya Konservasi Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea).
Menurut
Ario, dkk., (2016) upaya dalam konservasi Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea)
adalah:
1.
Didirikannya Turtle
Conservation and Education Center (TCEC) berfungsi sebagai tempat
konservasi penyu, tempat penetasan semi alami dari telur - telur penyu yang
diambil dari sarang alaminya dipinggir pantai agar telur tersebut dapat menetas
dengan selamat tanpa harus terganggu oleh predator ataupun manusia. Selain itu
TCEC juga sebagai tempat pembesaran tukik - tukik yang nantinya dilepas ke laut
jika umurnya sudah kurang lebih 3 bulan.
2.
Penyuluhan kepada
masyarakat agar tidak mengambil penyu langsung dari laut, tidak menjual
cangkang penyu, tidak memburu penyu di alamnya lagi sebagai bahan untuk upacara
adat, dan tidak mengkonsumsi daging dan telur penyu demi terjaganya kelestarian
habitat penyu. Penyu yang disediakan untuk upacara adat berumur satu tahun
lebih dan jumlahnya juga dibatasi.
3.
Kualitas air yang
digunakan untuk media hidup tukik yang dipelihara juga memerlukan perhatian khusus.
Parameter yang harus diperhatikan dalam menjaga kualitas air media antara lain
pH, salinitas, suhu dan oksigen terlarut (DO). Air laut mempunyai kisaran pH
yang relatif stabil karena memiliki kemampuan sebagai penyangga yang tinggi.
Salinitas mempengaruhi aktifitas biologis yaitu pada proses osmoregulasi. Penyu
merupakan hewan poikilotermal, suhu tubuh mengikuti suhu lingkungan sampai pada
batas tertentu.
0 komentar:
Posting Komentar